Keai Moko ( Kisah Cerita Legenda Rakyat Madura)

Keai Moko ( Kisah Cerita Legenda Rakyat Madura)

 

ASAL  CERITA   : Desa Larangan Tokol

KECAMATAN : Tlanakan

T E M A          : lingkungan Hidup


Pada jaman dahulu, di sebuah dusun terpencil, tepatnya di daerah Larangan Tokol hiduplah seorang ulama terkenal bernama R. Wiko Kenongo. Tetapi, ia lebih dikenal dengan sebutan Ki Moko. Orang-orang di kampung tersebut belum mengetahui dari mana daerah asalnya. Kegemarannya memacing ikan. Tetapi, ikan-ikan hasil pancingannya  sebagian besar dibagi-bagikan pada penduduk di sekitarnya dan para santrinya. Ia cuma mengumpulkan mata ikan hasil tangkapannya dalam sebuah bumbung bambu.

Pada suatu saat, terdamparkan sebuah perahu saudagar dari Makassar. Perahu tersebut sudah beberapa hari terombang-ambing badai di tengah laut. Keadaannya sungguh mengenaskan. Dengan tertatih-tatih Saudagar tersebut menghadap Ki Moko yang sedang memancing.

“ Pak Kiyai, tolonglah kami! Sudah beberapa hari kami terombang-ambing di tengah laut. Persediaan makanan dan sebagian dagangan kami musnah di telan gelombang. Tolonglah kami, Pak Kiai !”

“ Siapakah Ki sanak sebenarnya ?”

“ Kami adalah saudagar dari Palembang. Kami mau ke Palembang hendak menjual koppra ke sana ? “

“ Kalau begitu mampirlah beberapa hari di pondok kami. Biarlah para santri saya memperbaiki perahu Ki Sanak!”

Sudah sekitar seminggu Saudagar tersebut berada di pesantren Ki Moko. Kapal yang ditumpanginya  telah diperbaiki atas bantuan para santri Ki Moko. Ia hendak melanjutkan perjalanannya ke Palembang. Ki Moko sangat terharu. Kemudian ia juga menitipkan salam pada Raja Palembang. Ki Moko melepas kepergian Saudagar tersebut dengan doa seraya berpesan agar ia mampir ke pondoknya setiap kali kembali dari perjalanannya.

Persahabatan Ki Moko dengan saudagar tersebut semakin akrap. Saudagar Kopra dari Makasar itu tidak bisa melupakan budi baik Ki Moko. Sebab atas bantuan Beliaulah ia bisa bertahan hidup, bahkan perkembangan dagangannya semakin besar. Setiap kali ia mengirim dagangan ke Palembang tidak pernah kembali bahkan selalu kekurangan. Begitu juga setiap kali membawa barang dagangan dari Palembang selalu terjual habis.

Pada suatu hari, Saudagar tersebut membawa berita bahwa Putri Raja Palembang sakit keras. Beberapa orang tabib kerajaan tidak mampu menyembuhkannya. Bahkan, Raja Palembang mengadakan sayembara. Siapa saja yang mampu menyembuhkan penyakit putrinya akan dijadikan menantu jika kebetulan penolongnya seorang laki-laki. Tetapi, jika perempuan akan dijadikan anak angkat. Ki Moko sangat teraru mendengar berita tersebut. Ki Moko terkenang kembali persahabatannya dengan Raja palembang ketika beliau belum meninggalkan kampung halamannya. Perpisahan Ki Moko dengan Raja Palembang karena suatu amanah suci yang diembannya.

Maka diutuslah putra Ki Moko menuju Palembang. Sebelum berangkat, putranya telah diberi bekal berupa aji-aji ampuh untuk melenyapkan berbagai penyakit. Beberapa bumbung bambu yang berisi mata ikan dibawakan juga untuk diserahkan kepada Raja Palembang. Tetapi Sang Putra tidak diijinkan membuka bumbung bambu tersebut kecuali di hadapan Raja Palembang .

Pada waktu yang ditentukan, berangkatlah putra Ki Moko menuju Palembang.  Ki Moko sendiri, tanpa sepengetahuan putranya, menyertai perjalanannya. Ia mengendarai sebuah pelepah pohon kelapa mengarungi laut lepas.

Beberapa hari perjalanan, putra Ki Moko telah sampai di Kerajaan Palembang. Keadaan rakyat di Pelembang benar-benar mengenaskan. Mereka dirundung kesusahan karena memikirkan penyakit putri Palembang yang tidak kunjung sembuh. Sayembara yang diadakan Raja palembang tetap berlangsung. Putra Ki Moko terus mengamati jalannya sayembara. Para Putra Mahkota dari raja-raja seberang banyak mengikuti sayembara tersebut. Begitu juga pada dukun dan tabib sakti. Namun, upaya untuk menyembuhkan penyakit putri tetap tidak berhasil.

Ketika tidak ada lagi peserta yang tampil, Putra Ki Moko  menyampaikan salam takdimnya.

“ Sebelumnya hamba mohon maaf  Paduka Yang Mulia. Jika  diperkenankan, Kami akan mengikuti sayembara yang paduka adakan !”

  Anak Muda, sudah beberapa tabib dan dukun sakti gagal menyembuhkan penyakit putriku. Aku sudah putus asa. Jika kamu memaksa ikut, apa yang hendak kautaruhkan jika usahamu ternyata gagal ?”

“ Jika hal itu yang menjadi kehendak Paduka, Hamba rela mendapat hukuman apapun ! “ kata Pemuda tersebut dengan lemah lembut.

“ Baiklah! Saya ijinkan Kau mengobati penyakit putriku. Tetapi, jika gagal, Kau akan kuhukum pancung !”

“ Terima kasih, Paduka. “

Setelah mendapatkan ijin, Putra Ki Moko menjumpai Sang Putri. Keadaan Sang Putri benar-benar memprihatinkan. Tubuhnya kurus kering. Cuma sinar matanya yang mampu membersitkan sisa-sisa kecantikannya. Sekujur tubuhnya terserang penyakit aneh, semacam penyakit kulit yang cukup ganas.

Putra Ki Moko segera mengeluarkan beberapa peralatan dan obat-obatan yang dibawanya dari Madura. Beberapa aji dan doa dibacakan untuk kesembuhan Sang Putri. Bahan-bahan tersebut kemudian dioleskan ke sekujur tubuh Sang Putri. Putra Ki Moko menunggu beberapa menit reaksi obat yang diberikannya.

Keringat dingin mulai membasahi kening Putra Ki Moko, ketika obat yang diberikannya ternyata tidak memberikan reaksi apa-apa. Ia khawatir jika usahanya gagal. Pastilah ia akan mendapatkan hukuman dari Sang Raja.

Ki Moko sendiri yang mengetahui kejadian tersebut tersenyum melihat kerisauan putranya. Tanpa sepengetahuan, putranya maka ditiupkanlah aji pamungkas yang dimilikinya ke tubuh Sang Putri. Seketika itu pula tubuh Sang Putri terjadi perubahan. Penyakit kulit yang dideritanya sedikit demi sedikit mulai terkelupas. Bahkan kulitnya yang terlihat kasar tersebut kembali pada keadaan semula. Kulit yang halus dan kuning. Putra Ki Moko tidak percaya pada kejadian di depan matanya. Karena tiba-tiba di depannya telah ada seorang putri cantik.

   “ Terima kasih, Kang Mas. Karena usaha Kang Mas aku bisa sembuh dari penyakit ini.”

Dewi Suminten, begitulah nama Sang Putri, segera memberitahukan kesembuhannya pada ayahandanya. Ayahanda sangat terkejut dan setengah tidak percaya pada keajaiban yang terjadi.   Maka ia segera memanggil Pemuda penolongnya. Putra Ki Moko kemudian menghaturkan sembah.

“ Aku sangat kagum akan kecerdasanmu menyembuhkan penyakit putriku. Sebab, sudah ratusan tabib dan dukun sakti dari wikayah kerajan dan manca negera tidak pernah berhasil. Cuma kaulah yang mampu menyembuhkannya. Siapakah Kau sebenarnya anak muda ?”

“ Maafkan hamba, Paduka ! Kami adalah putra Ki Moko dari tanah seberang. Tepatnya dari Madura. Hamba sengaja diutus oleh Ayahanda untuk membantu kesedihan Paduka. “

“ Benarkah Kau putra kakanda Ki Moko ? Oh, Kakanda, ternyata kau masih memperhatikan keadaanku.Bagaimanakah keadaannya,Anakku ? Apakah dia baik-baik saja?”

“ Berkat doa Paduka, keadaan ayahanda dalam keadaan sehat wal afiat. Bahkan beliau menghaturkan barang ini untuk Paduka !” ucap putra Ki Moko sambil menyerahkan beberapa bumbung  bambu.

Raja Palembang segera membuka bumbung bambu tersebut untuk melihat isinya. Ketika tutup bumbung itu dibuka maka keluarlah sinar kemilau dari dalam bumbung tersebut. Raja palembang, Putra Ki Moko dan semua hadirin yang berada di Balairung Istana tersbeut sangat terkejut ketika dari dalam bumbung bambu tersebut bertaburan intan berlian yang begitu banyak. Itulah tanda mata yang diberikan Ki Moko untuk melamar putri Raja Palembang sebagai menantunya.

Perkawinan Dewi Suminten dengan putra Ki Moko segera dilansungkan. Pelaksanaan pesta perkawinan tersebut dilaksanakan dengan sangat meriah. Gending-gending dan tarian dari beberapa daerah bawahan ikut memeriahkan suasana. Rakyat Palembang benar-benar sukacita. Ia sangat genbira karena penyakit putrinya telah sembuh dan telah mendapatkan jodoh seorang pemuda yang sangat sakti dan baik budi.

Ki Moko sendiri yang kebetulan mengikuti acara tersebut sangat gembira. Ia akan  melaksanakan kegiatan undang mantu. Karena itu ia segera kembali ke Madura guna mempersiapkan pelaksanaan undang mantu di daerahnya.

Beberapa hari, ia berkeliling desanya, melihat-lihat suasana yang ada. Hatinya benar-benar sedih. Padahal ia bermaksud melaksanakan undang mantu dengan pesta yang cukup meriah. Desa, tempat tinggalnya ternyata sulit mendapatkan air bersih. Kayu bakarpun sulit di dapat. Padahal pesta tersebut tentu saja membutuhkan air dan kayu bakar yang cukup banyak.Tidak ada sungai  untuk lalu lintas perahu jika nantinya  para tamunya akan berkunjung ke daerahnya.

Beberapa hari Ki Moko bertafakur, memohon pertolongan Allah SWT. Pada suatu malam Ki Moko menerima petunjuk Ilahi. Ia kemudian berjalan ke arah Barat Laut dari pesantrennya. Di daerah yang cukup berbukit, pada tanah yang retak-retak. Ia menancapkan daur pancingnya seraya berdoa,” Ya, Allah ! Dengan Kuasa-Mu  keluarkanlah bekas tancapan pancing ini suatu sumber api yang tak habis-habisnya, sehingga keluargaku dan masyarakatku dapat memasak apa saja di tempat ini !”

Suatu keajaiban pun terjadi ! Setelah daur pancing Ki Moko dicabut, dari bekas tancapan daur pancing itu tiba-tiba menyembur lidah api yang menyala-nyala. Keadaan di tempat itu berubah terang-benderang. Ki Moko melakukan sujud syukur dan berdoa agar api tersebut menjadi api yang tak kunjung padam. Setelah itu, Ki Moko berjalan ke arah Barat Daya, dan menancapkan daur pancingnya kembali. Ia memohon agar bekas tancapan daur pancingnya keluar sumber air panas yang bisa digunakan untuk menanak nasi pada saat pelaksanaan pesta undang mantunya. Sekali lagi, keajaiban pun terjadi. Bekas tancapan daur pancing tersebut tiba-tiba meluap-luap sumber  air panas yang sangat besar. Air tersebut sedikit berbau belerang. Ki Moko pun melakukan sujud syukur kembali.

Kini tinggal satu masalah yang belum teratasi. Masalah lalu lintas air jika nantinya para tamunya akan berlabuh mendekati pedukuhannya. Sebab, Jika para tamunya hanya berlabuh di perairan Selat Madura di Branta Pesisir, tentunya tama-tamu tersebut masih harus menempuh perjalanan darat. Padahal yang akan hadir pada pestanya adalah Sang Maharaja Palembang Sendiri, kawan sepermainannya waktu kecil.

Setelah mendapatkan petunjuk, Ki Moko menancapkan kembali daur pancingnya ke tanah. Tancapan tersebut dimulai dari dekat sumber air panasnya. Sambil memanjatkan doa-doanya yang ampuh, Ki Moko menorehkan tancapan tersebut menuju pantai. Keanehan pun terjadi, sebab bekas torehan daur pancing Ki Moko tiba-tiba berubah menjadi sungai yang cukup lebar. Sungai tersebut menghubungkan pedukuhan Ki Moko dengan Pelabuhan Branta Pesisir. Setelah itu, Ki Moko memohon kepada Allah agar pedukuhannya berubah menjadi Istana Megah yang mirip dengan Istana Kerajaan Palembang.

Pelaksanaan undang mantu antara Putra Ki Moko dan Dewi Suminten terlaksana dengan meriah. Gending-gending dan tarian mewarnai pelaksanana pesta tersebut. Begitu juga dengan pembacaan sholawat dan syair-syair keagamaan. Para tamu dan undangan sangat terkesan. Begitu juga Baginda Raja Palembang. Empat puluh hari empat puluh malam suasana pesta mewarnai Istana Ki Moko.

            Setelah empat puluh hari selesainya pelaksanaan pesta tersebut, tiba-tiba suatu keajaiban terjadi di daerah tersebut. Istana Ki Moko yang megah musnah. Istana tersebut berubah ke wujud semula, sebuah pedukuhan kecil dengan gubuk-gubuk yang ditempati para santri. Dewi Suminten dan Putra Ki Moko bingung.

            “ Anak-anakku, tak ada suatu yang abadi di dunia ini. Aku dan kalian berdua, ada dari ketiadaan.  Begitu juga dengan lainnya, termasuk Istana yang telah engkau tempati beberapa hari ini. Bertawakkallah Kepada Allah, pencipta-Mu. Karena hanya kepada-Nya-lah semuanya akan berpulang.” Ucap Ki Moko dengan mantap.

Dewi Suminten dan putranya masih memohon kepada Ki Moko agar istananya dapat terwujud kembali. Tetapi, Ki Moko tidak mampu mengabulkan permohonan tersebut.

Beberapa tahun setelah Dewi Suminten dan suaminya menetap di pedukuhan Ki Moko, akhirnya keduanya dipanggil pulang oleh Sang Baginda Raja Palembang. Raja Palembang yang sudah tua merasa tidak mampu lagi memimpin rakyat Palembang. Ia mewariskan kerajaan Palembang pada putrinya, Dewi Suminten. Akhirnya, Putra Ki Moko dinobatkan sebagai raja Palembang.

Kini petilasan Ki Moko tetap bertahan. Api Alam yang kunjung padam, sumber air panas dan belerang, dan sungai yang pernah dilalui para prajurit Palembang. Tempat-tempat tersebut banyak dikunjungi para wisatawan. Bahkan, sumber api alamnya sering digunakan untuk pengambilan api PON.