Featured Post

Pakem Maddu Gelar Diklat Pelestarian Bahasa Sastra dan Budaya Madura
Yayasan pelestarian dan Pengembanagan Bahasa dan Sastra Madura Pakem Maddu menyelenggarakan diklat bahasa madura tingkat SD/MI/SMP/MTs, SMA...
Komunitas Manḍhâlâ Sènom Ngaji Budaya Madura
Komunitas Manḍhâlâ Sènom Ngaji Budaya Madura
Pamekasan, 04/06/2024. Yayasan Pakem Maddhu menerima kunjungan
komunitas Taman Baca Manḍhâlâ Sènom Pamekasan. Relawan komunitas dari taman
baca Manḍhâlâ Sènom yang terdiri 10 orang itu memiliki tujuan untuk
bersilaturrahmi dan ngaji budaya Madura ke sekretariat Yayasan Pakem Maddhu
yang berada di jalan Jalmak 32 Pamekasan. Ujar Rofiqi sebagai kordinator.
Dalam sambutannya, ketua Yayasan Pakem Maddhu Dr. Moh.
Hafid Effendy, M.Pd. menuturkan bahwa Yayasan Pakem Maddhu yang sudah berusia
33 tahun ini masih eksis bekerja sesuai visi Yayasan yakni melestarikan dan
menumbuhkembangkan Bahasa, sastra, dan budaya Madura. Kunjungan para pemuda
diapresiasi oleh ketua dengan senang hati, karena masih ada pemuda yang peduli dan
belajar tentang budaya Madura. Yayasan Pakem Maddhu yang sekarang sudah
generasi ketiga tetap produktif dan aktif dalam pemertahanan bahasa, budaya,
dan sastra melalui publikasi bulletin berbahasa Madura, penerjemahan Al-Qur’an
berbahasa Madura, Menyusun buku teks pelajaran, dan melakukan transliterasi
terjemahan Al-Qura’an berbahasa Madura ke tulisan Carakan Madura. ucap Hafid
selaku Ketua yang juga sebagai dosen IAIN Madura.
DISKUSI TERPUMPUN; USULAN WARISAN BUDAYA TAKBENDA TAHUN 2024
Surabaya, 06-08/05/24.
Yayasan Pakem Maddhu mewakili Dinas Pendidikan kabupaten pamekasan guna
menghadiri acara Diskusi Terpumpun tentang Usulan Penetapan Warisan Budaya Takbenda
(WBTb) Bahasa Madura di hotel Aokwood di Surabaya. Hadir para pecinta seni dan
perwakilan Dinas Pendidikan se-Jawa Timur. Hadir 4 peserta dari kabupaten
Pamekasan, diantaranya Bapak Parto sebagai pengusul Tari Ronding, Moh. hafid
Effendy perwakilan Yayasan Pakem Maddhu
sebagai pengusul Bahasa Madura dan ditemani oleh 2 staf dari Dinas
Pendidikan yakni mas Herdyk dan mas Dendi.
RAPAT KOORDINASI KEGIATAN TRANSLITERASI TARJEMAH AL-QUR'AN BERBAHASA MADURA KE DALAM TULISAN CARAKAN MADURA
Sabtu, 4/05/2024 Digelar rapat koordinasi di sekretariat Yayasan Pakem Maddhu dalam rangka persiapan kegiatan transliterasi tarjemah al-qur'an berbahasa Madura ke dalam tulisan carakan Madura. Tahun 2024 Yayasan Pakem Maddhu menggelar penandatanganan MoU naskah kerja sama dengan IAIN Madura. Yayasan Pakem Maddhu berusaha semaksimal mungkin menuntaskan transliterasi tarjemahan al-qur'an berbahasa Madura ke dalam tulisan Carakan Madura. Kegiatan ini atas inisiatif Yayasan Pakem Maddhu sebagai tindaklanjut MoU dengan IAIN Madura dengan ruang lingkup kerja sama (1) transliterasi, (2) Riset kolaboratif, dan (3) Publikasi Kemaduraan. Semoga lancar dan tuntas sesuai target.
Keai Moko ( Kisah Cerita Legenda Rakyat Madura)
ASAL CERITA : Desa Larangan Tokol
KECAMATAN : Tlanakan
T E M A :
lingkungan Hidup
Pada
jaman dahulu, di sebuah dusun terpencil, tepatnya di daerah Larangan Tokol
hiduplah seorang ulama terkenal bernama R. Wiko Kenongo. Tetapi, ia lebih
dikenal dengan sebutan Ki Moko. Orang-orang di kampung tersebut belum
mengetahui dari mana daerah asalnya. Kegemarannya memacing ikan. Tetapi,
ikan-ikan hasil pancingannya sebagian
besar dibagi-bagikan pada penduduk di sekitarnya dan para santrinya. Ia cuma
mengumpulkan mata ikan hasil tangkapannya dalam sebuah bumbung bambu.
Pada
suatu saat, terdamparkan sebuah perahu saudagar dari
“
Pak Kiyai, tolonglah kami! Sudah beberapa hari kami terombang-ambing di tengah
laut. Persediaan makanan dan sebagian dagangan kami musnah di telan gelombang.
Tolonglah kami, Pak Kiai !”
“
Siapakah Ki sanak sebenarnya ?”
“
Kami adalah saudagar dari
“
Kalau begitu mampirlah beberapa hari di pondok kami. Biarlah para santri saya
memperbaiki perahu Ki Sanak!”
Sudah
sekitar seminggu Saudagar tersebut berada di pesantren Ki Moko. Kapal yang
ditumpanginya telah diperbaiki atas
bantuan para santri Ki Moko. Ia hendak melanjutkan perjalanannya ke
Persahabatan
Ki Moko dengan saudagar tersebut semakin akrap. Saudagar Kopra dari Makasar itu
tidak bisa melupakan budi baik Ki Moko. Sebab atas bantuan Beliaulah ia bisa
bertahan hidup, bahkan perkembangan dagangannya semakin besar. Setiap kali ia
mengirim dagangan ke
Pada
suatu hari, Saudagar tersebut membawa berita bahwa Putri Raja Palembang sakit
keras. Beberapa orang tabib kerajaan tidak mampu menyembuhkannya. Bahkan, Raja
Palembang mengadakan sayembara. Siapa saja yang mampu menyembuhkan penyakit
putrinya akan dijadikan menantu jika kebetulan penolongnya seorang laki-laki.
Tetapi, jika perempuan akan dijadikan anak angkat. Ki Moko sangat teraru mendengar
berita tersebut. Ki Moko terkenang kembali persahabatannya dengan Raja
Maka
diutuslah putra Ki Moko menuju
Pada
waktu yang ditentukan, berangkatlah putra Ki Moko menuju
Beberapa
hari perjalanan, putra Ki Moko telah sampai di Kerajaan
Ketika
tidak ada lagi peserta yang tampil, Putra Ki Moko menyampaikan salam takdimnya.
“
Sebelumnya hamba mohon maaf Paduka Yang
Mulia. Jika diperkenankan, Kami akan
mengikuti sayembara yang paduka adakan !”
“ Anak Muda, sudah beberapa tabib dan dukun
sakti gagal menyembuhkan penyakit putriku. Aku sudah putus asa. Jika kamu
memaksa ikut, apa yang hendak kautaruhkan jika usahamu ternyata gagal ?”
“
Jika hal itu yang menjadi kehendak Paduka, Hamba rela mendapat hukuman apapun !
“ kata Pemuda tersebut dengan lemah lembut.
“
Baiklah! Saya ijinkan Kau mengobati penyakit putriku. Tetapi, jika gagal, Kau
akan kuhukum pancung !”
“
Terima kasih, Paduka. “
Setelah
mendapatkan ijin, Putra Ki Moko menjumpai Sang Putri. Keadaan Sang Putri
benar-benar memprihatinkan. Tubuhnya kurus kering. Cuma sinar matanya yang
mampu membersitkan sisa-sisa kecantikannya. Sekujur tubuhnya terserang penyakit
aneh, semacam penyakit kulit yang cukup ganas.
Putra
Ki Moko segera mengeluarkan beberapa peralatan dan obat-obatan yang dibawanya
dari Madura. Beberapa aji dan doa dibacakan untuk kesembuhan Sang Putri.
Bahan-bahan tersebut kemudian dioleskan ke sekujur tubuh Sang Putri. Putra Ki
Moko menunggu beberapa menit reaksi obat yang diberikannya.
Keringat
dingin mulai membasahi kening Putra Ki Moko, ketika obat yang diberikannya
ternyata tidak memberikan reaksi apa-apa. Ia khawatir jika usahanya gagal.
Pastilah ia akan mendapatkan hukuman dari Sang Raja.
Ki
Moko sendiri yang mengetahui kejadian tersebut tersenyum melihat kerisauan
putranya. Tanpa sepengetahuan, putranya maka ditiupkanlah aji pamungkas yang
dimilikinya ke tubuh Sang Putri. Seketika itu pula tubuh Sang Putri terjadi
perubahan. Penyakit kulit yang dideritanya sedikit demi sedikit mulai terkelupas.
Bahkan kulitnya yang terlihat kasar tersebut kembali pada keadaan semula. Kulit
yang halus dan kuning. Putra Ki Moko tidak percaya pada kejadian di depan
matanya. Karena tiba-tiba di depannya telah ada seorang putri cantik.
“ Terima kasih, Kang Mas. Karena usaha Kang
Mas aku bisa sembuh dari penyakit ini.”
Dewi
Suminten, begitulah nama Sang Putri, segera memberitahukan
kesembuhannya pada ayahandanya. Ayahanda sangat terkejut dan setengah tidak
percaya pada keajaiban yang terjadi.
Maka ia segera memanggil Pemuda penolongnya. Putra Ki Moko kemudian
menghaturkan sembah.
“
Aku sangat kagum akan kecerdasanmu menyembuhkan penyakit putriku. Sebab, sudah
ratusan tabib dan dukun sakti dari wikayah kerajan dan manca negera tidak
pernah berhasil. Cuma kaulah yang mampu menyembuhkannya. Siapakah Kau
sebenarnya anak muda ?”
“
Maafkan hamba, Paduka ! Kami adalah putra Ki Moko dari tanah seberang. Tepatnya
dari Madura. Hamba sengaja diutus oleh Ayahanda untuk membantu kesedihan
Paduka. “
“
Benarkah Kau putra kakanda Ki Moko ? Oh, Kakanda, ternyata kau masih
memperhatikan keadaanku.Bagaimanakah keadaannya,Anakku ? Apakah dia baik-baik
saja?”
“
Berkat doa Paduka, keadaan ayahanda dalam keadaan sehat wal afiat. Bahkan
beliau menghaturkan barang ini untuk Paduka !” ucap putra Ki Moko sambil
menyerahkan beberapa bumbung bambu.
Raja
Perkawinan
Dewi Suminten dengan putra Ki Moko segera dilansungkan. Pelaksanaan pesta
perkawinan tersebut dilaksanakan dengan sangat meriah. Gending-gending dan
tarian dari beberapa daerah bawahan ikut memeriahkan suasana. Rakyat Palembang
benar-benar sukacita. Ia sangat genbira karena penyakit putrinya telah sembuh
dan telah mendapatkan jodoh seorang pemuda yang sangat sakti dan baik budi.
Ki
Moko sendiri yang kebetulan mengikuti acara tersebut sangat gembira. Ia
akan melaksanakan kegiatan undang mantu.
Karena itu ia segera kembali ke Madura guna mempersiapkan pelaksanaan undang
mantu di daerahnya.
Beberapa
hari, ia berkeliling desanya, melihat-lihat suasana yang ada. Hatinya
benar-benar sedih. Padahal ia bermaksud melaksanakan undang mantu dengan pesta yang
cukup meriah. Desa, tempat tinggalnya ternyata sulit mendapatkan air bersih.
Kayu bakarpun sulit di dapat. Padahal pesta tersebut tentu saja membutuhkan air
dan kayu bakar yang cukup banyak.Tidak ada sungai untuk lalu lintas perahu jika nantinya para tamunya akan berkunjung ke daerahnya.
Beberapa
hari Ki Moko bertafakur, memohon pertolongan Allah SWT. Pada suatu malam Ki
Moko menerima petunjuk Ilahi. Ia kemudian berjalan ke arah Barat Laut dari
pesantrennya. Di daerah yang cukup berbukit, pada tanah yang retak-retak. Ia
menancapkan daur pancingnya seraya berdoa,” Ya, Allah ! Dengan Kuasa-Mu keluarkanlah bekas tancapan pancing ini suatu
sumber api yang tak habis-habisnya, sehingga keluargaku dan masyarakatku dapat
memasak apa saja di tempat ini !”
Suatu
keajaiban pun terjadi ! Setelah daur pancing Ki Moko dicabut, dari bekas
tancapan daur pancing itu tiba-tiba menyembur lidah api yang menyala-nyala.
Keadaan di tempat itu berubah terang-benderang. Ki Moko melakukan sujud syukur
dan berdoa agar api tersebut menjadi api yang tak kunjung padam. Setelah itu,
Ki Moko berjalan ke arah Barat Daya, dan menancapkan daur pancingnya kembali.
Ia memohon agar bekas tancapan daur pancingnya keluar sumber air panas yang
bisa digunakan untuk menanak nasi pada saat pelaksanaan pesta undang mantunya.
Sekali lagi, keajaiban pun terjadi. Bekas tancapan daur pancing tersebut
tiba-tiba meluap-luap sumber air panas
yang sangat besar. Air tersebut sedikit berbau belerang. Ki Moko pun melakukan
sujud syukur kembali.
Kini
tinggal satu masalah yang belum teratasi. Masalah lalu lintas air jika nantinya
para tamunya akan berlabuh mendekati pedukuhannya. Sebab, Jika para tamunya
hanya berlabuh di perairan Selat Madura di Branta Pesisir, tentunya tama-tamu
tersebut masih harus menempuh perjalanan darat. Padahal yang akan hadir pada
pestanya adalah Sang Maharaja
Setelah
mendapatkan petunjuk, Ki Moko menancapkan kembali daur pancingnya ke tanah.
Tancapan tersebut dimulai dari dekat sumber air panasnya. Sambil memanjatkan
doa-doanya yang ampuh, Ki Moko menorehkan tancapan tersebut menuju pantai.
Keanehan pun terjadi, sebab bekas torehan daur pancing Ki Moko tiba-tiba
berubah menjadi sungai yang cukup lebar. Sungai tersebut menghubungkan
pedukuhan Ki Moko dengan Pelabuhan Branta Pesisir. Setelah itu, Ki Moko memohon
kepada Allah agar pedukuhannya berubah menjadi Istana Megah yang mirip dengan
Istana Kerajaan Palembang.
Pelaksanaan
undang mantu antara Putra Ki Moko dan Dewi Suminten terlaksana dengan meriah.
Gending-gending dan tarian mewarnai pelaksanana pesta tersebut. Begitu juga
dengan pembacaan sholawat dan syair-syair keagamaan.
Setelah
empat puluh hari selesainya pelaksanaan pesta tersebut, tiba-tiba suatu
keajaiban terjadi di daerah tersebut. Istana Ki Moko yang megah musnah. Istana
tersebut berubah ke wujud semula, sebuah pedukuhan kecil dengan gubuk-gubuk
yang ditempati para santri. Dewi Suminten dan Putra Ki Moko bingung.
“
Anak-anakku, tak ada suatu yang abadi di dunia ini. Aku dan kalian berdua, ada
dari ketiadaan. Begitu juga
dengan lainnya, termasuk Istana yang telah engkau tempati beberapa hari ini.
Bertawakkallah Kepada Allah, pencipta-Mu. Karena hanya kepada-Nya-lah semuanya
akan berpulang.” Ucap Ki Moko dengan mantap.
Dewi
Suminten dan putranya masih memohon kepada Ki Moko agar istananya dapat
terwujud kembali. Tetapi, Ki Moko tidak mampu mengabulkan permohonan tersebut.
Beberapa
tahun setelah Dewi Suminten dan suaminya menetap di pedukuhan Ki Moko, akhirnya
keduanya dipanggil pulang oleh Sang Baginda Raja
Kini
petilasan Ki Moko tetap bertahan. Api Alam yang kunjung padam, sumber air panas
dan belerang, dan sungai yang pernah dilalui para prajurit